reyysajaa

Abim menekan bel rumah besar yang berada di hadapannya, berharap akan ada yang membukakan pintu kayu yang menjulang tinggi di depannya.

Pintu terbuka menampilkan wanita berumur sekitar 40an, wanita tersebut menyapa Abim dengan hangat, ia adalah mamanya Nathan.

“Selamat pagi Abim, tumben ya Abim pagi-pagi kesini. Ada perlu apa sayang?” Tanya mama Nathan dengan lembut.

“Pagi Tante Nala, tadi Nathan ngechat aku Tante, ngajakin kesini hehe.”

“Haduhh anak itu..maaf ya nyusahin Abim, Nathannya ada di kamar...gamau keluar dari tadi, kebetulan Tante juga mau berangkat kerja. Ajak Nathan keluar ya, Tante duluan.” Setelah berpamitan dengan Abim, Tante Nala langsung pergi kearah garasi.

Abim beranjak masuk, bagai tamu langganan dengan santainya Abim langsung menaiki anak tangga menuju lantai 2, tempat dimana kamar Nathan berada.

Ia ketuk pintunya pelan, lalu mendorongnya dan melangkah masuk ke dalam kamar berukuran besar tersebut.

Abim mengehela nafas gusar, melihat Nathan yang sibuk menggulung dirinya di dalam selimut, wajahnya di basahi peluh keringat, dan rambutnya berantakan.

“A-Abim..”

Nathan bercicit pelan, memanggil Abim untuk mendekat ke kasur yang ia tempati.

“Buka selimutnya coba.” Nathan menoleh menatap muka Abim bak anak kucing yang baru saja di buang oleh pemiliknya, perlahan ia hempaskan selimutnya menampilkan selangkangannya yang basah sekaligus vaginanya yang berdenyut dan memerah.

“Mau di colmekin Abimm, kangenn jari besar Abim.”

Abim terkekeh kecil lalu ia mulai duduk di tengah tengah selangkangan Nathan, jarinya mencubit gemas klitorisnya buat Nathan memekik.

“Kok bisa basah gini? Lo liat apa semalem hm?”

Nathan menggigit bibirnya ketika dua jari Abim mengelus pelan klitorisnya, pahanya bergetar berusah menutupi kemaluannya namun di tahan oleh tangan kiri pria yang ada di depannya.

“Kemaren Om Hendra pap ke aku—ngh! T-Tiba aku becek terus kangen dimainin Abim.”

“Ohh udah kenalan sama Om Hendra? gimana? cakep?”

Nathan mengangguk dengan mantap dan dengan tiba-tiba Abim langsung memasukan dua jarinya tanpa memberitahu Nathan sama sekali, buat empunya memekik kencang.

“Ahh!! pelan-pelan A-Abim..”

Abim menghiraukan permintaan Nathan, ia mulai menggerakan jarinya dengan cepat, jari kaki Nathan menukik, ia dilanda kenikmatan hebat.

“Enak? Enak di colmekin gue? Lonte juga lo. Udah ngerayu Om-Om minta di colmekinnya sama gue.”

“WAAAH-!! Mmh~! Abim jangan kenceng-kenceng, sayang!.” Pupil nathan bergilir kebelakang, ia masih berusaha menutup selangkangannya, ia benar-benar di buat gila oleh jari Abim.

“Gue pastiin, Om Hendra gabakal bisa ngalahin kocokan jari gue.”

Abim menggosok klitoris Nathan berantakan, ia ingin memancing Nathan untuk pipis di depannya, tangan Nathan berusaha menghentikan kocokan Abim namun dengan cepat tangannya di hempas kasar.

“Abim mau pipis!—AaaH-! Mmh.”

Abim tersenyum getir, ia semakin menaikan tempo kocokannya buat Nathan gila, Nathan mendesah panjang ia mengeluarkan pipisnya, cairan tersebut membuat vaginanya makin becek.

“Bangsat, lo bikin jaket gue basah anjing.” Abim menampar vagina Nathan berulang kali buat Nathan tersentak-sentak.

“U-Udah—kocokan kamu enak banget.” Ujar Nathan sambil tersenyum, mata sayunya menatap Abim. Abim tertawa lalu ia mulai menaruh selimut yang sudah setengah basah tersebut ke keranjang pakaian.

“Gue ambil selimut baru, lo gausah ngebantuin gue. Gue selesain sendiri aja di kamar mandi lo.”

Nathan mengangguk pelan lalu matanya menutup, ia memilih kembali ke alam mimpinya mungkin efek di colmekin Abim bikin dia jadi ngantuk lagi.

@mangoreyy

Abim menekan bel rumah besar yang berada di hadapannya, berharap akan ada yang membukakan pintu kayu yang menjulang tinggi di depannya.

Pintu terbuka menampilkan wanita berumur sekitar 40an, wanita tersebut menyapa Abim dengan hangat, ia adalah mamanya Nathan.

“Selamat pagi Abim, tumben ya Abim pagi-pagi kesini. Ada perlu apa sayang?” Tanya mama Nathan dengan lembut.

“Pagi Tante Nala, tadi Nathan ngechat aku Tante, ngajakin kesini hehe.”

“Haduhh anak itu..maaf ya nyusahin Abim, Nathannya ada di kamar...gamau keluar dari tadi, kebetulan Tante juga mau berangkat kerja. Ajak Nathan keluar ya, Tante duluan.” Setelah berpamitan dengan Abim, Tante Nala langsung pergi kearah garasi.

Abim beranjak masuk, bagai tamu langganan dengan santainya Abim langsung menaiki anak tangga menuju lantai 2, tempat dimana kamar Nathan berada.

Ia ketuk pintunya pelan, lalu mendorongnya dan melangkah masuk ke dalam kamar berukuran besar tersebut.

Abim mengehela nafas gusar, melihat Nathan yang sibuk menggulung dirinya di dalam selimut, wajahnya di basahi peluh keringat, dan rambutnya berantakan.

“A-Abim..”

Nathan bercicit pelan, memanggil Abim untuk mendekat ke kasur yang ia tempati.

“Buka selimutnya coba.” Nathan menoleh menatap muka Abim bak anak kucing yang baru saja di buang oleh pemiliknya, perlahan ia hempaskan selimutnya menampilkan selangkangannya yang basah sekaligus vaginanya yang berdenyut dan memerah.

“Mau di colmekin Abimm, kangenn jari besar Abim.”

Abim terkekeh kecil lalu ia mulai duduk di tengah tengah selangkangan Nathan, jarinya mencubit gemas klitorisnya buat Nathan memekik.

“Kok bisa basah gini? Lo liat apa semalem hm?”

Nathan menggigit bibirnya ketika dua jari Abim mengelus pelan klitorisnya, pahanya bergetar berusah menutupi kemaluannya namun di tahan oleh tangan kiri pria yang ada di depannya.

“Kemaren Om Hendra pap ke aku—ngh! T-Tiba aku becek terus kangen dimainin Abim.”

“Ohh udah kenalan sama Om Hendra? gimana? cakep?”

Nathan mengangguk dengan mantap dan dengan tiba-tiba Abim langsung memasukan dua jarinya tanpa memberitahu Nathan sama sekali, buat empunya memekik kencang.

“Ahh!! pelan-pelan A-Abim..”

Abim menghiraukan permintaan Nathan, ia mulai menggerakan jarinya dengan cepat, jari kaki Nathan menukik, ia dilanda kenikmatan hebat.

“Enak? Enak di colmekin gue? Lonte juga lo. Udah ngerayu Om-Om minta di colmekinnya sama gue.”

“WAAAH-!! Mmh~! Abim jangan kenceng-kenceng, sayang!.” Pupil nathan bergilir kebelakang, ia masih berusaha menutup selangkangannya, ia benar-benar di buat gila oleh jari Abim.

“Gue pastiin, Om Hendra gabakal bisa ngalahin kocokan jari gue.”

Abim menggosok klitoris Nathan berantakan, ia ingin memancing Nathan untuk pipis di depannya, tangan Nathan berusaha menghentikan kocokan Abim namun dengan cepat tangannya di hempas kasar.

“Abim mau pipis!—AaaH-! Mmh.”

Abim tersenyum getir, ia semakin menaikan tempo kocokannya buat Nathan gila, Nathan mendesah panjang ia mengeluarkan pipisnya, cairan tersebut membuat vaginanya makin becek.

“Bangsat, lo bikin jaket gue basah anjing.” Abim menampar vagina Nathan berulang kali buat Nathan tersentak-sentak.

“U-Udah—kocokan kamu enak banget.” Ujar Nathan sambil tersenyum, mata sayunya menatap Abim. Abim tertawa lalu ia mulai menaruh selimut yang sudah setengah basah tersebut ke keranjang pakaian.

“Gue ambil selimut baru, lo gausah ngebantuin gue. Gue selesain sendiri aja di kamar mandi lo.”

Nathan mengangguk pelan lalu matanya menutup, ia memilih kembali ke alam mimpinya mungkin efek di colmekin Abim bikin dia jadi ngantuk lagi.

@mangoreyy

#Abim and Nathan.

Abim menekan bel rumah besar yang berada di hadapannya, berharap akan ada yang membukakan pintu kayu yang menjulang tinggi di depannya.

Pintu terbuka menampilkan wanita berumur sekitar 40an, wanita tersebut menyapa Abim dengan hangat, ia adalah mamanya Nathan.

“Selamat pagi Abim, tumben ya Abim pagi-pagi kesini. Ada perlu apa sayang?” Tanya mama Nathan dengan lembut.

“Pagi Tante Nala, tadi Nathan ngechat aku Tante, ngajakin kesini hehe.”

“Haduhh anak itu..maaf ya nyusahin Abim, Nathannya ada di kamar...gamau keluar dari tadi, kebetulan Tante juga mau berangkat kerja. Ajak Nathan keluar ya, Tante duluan.” Setelah berpamitan dengan Abim, Tante Nala langsung pergi kearah garasi.

Abim beranjak masuk, bagai tamu langganan dengan santainya Abim langsung menaiki anak tangga menuju lantai 2, tempat dimana kamar Nathan berada.

Ia ketuk pintunya pelan, lalu mendorongnya dan melangkah masuk ke dalam kamar berukuran besar tersebut.

Abim mengehela nafas gusar, melihat Nathan yang sibuk menggulung dirinya di dalam selimut, wajahnya di basahi peluh keringat, dan rambutnya berantakan.

“A-Abim..”

Nathan bercicit pelan, memanggil Abim untuk mendekat ke kasur yang ia tempati.

“Buka selimutnya coba.” Nathan menoleh menatap muka Abim bak anak kucing yang baru saja di buang oleh pemiliknya, perlahan ia hempaskan selimutnya menampilkan selangkangannya yang basah sekaligus vaginanya yang berdenyut dan memerah.

“Mau di colmekin Abimm, kangenn jari besar Abim.”

Abim terkekeh kecil lalu ia mulai duduk di tengah tengah selangkangan Nathan, jarinya mencubit gemas klitorisnya buat Nathan memekik.

“Kok bisa basah gini? Lo liat apa semalem hm?”

Nathan menggigit bibirnya ketika dua jari Abim mengelus pelan klitorisnya, pahanya bergetar berusah menutupi kemaluannya namun di tahan oleh tangan kiri pria yang ada di depannya.

“Kemaren Om Hendra pap ke aku—ngh! T-Tiba aku becek terus kangen dimainin Abim.”

“Ohh udah kenalan sama Om Hendra? gimana? cakep?”

Nathan mengangguk dengan mantap dan dengan tiba-tiba Abim langsung memasukan dua jarinya tanpa memberitahu Nathan sama sekali, buat empunya memekik kencang.

“Ahh!! pelan-pelan A-Abim..”

Abim menghiraukan permintaan Nathan, ia mulai menggerakan jarinya dengan cepat, jari kaki Nathan menukik, ia dilanda kenikmatan hebat.

“Enak? Enak di colmekin gue? Lonte juga lo. Udah ngerayu Om-Om minta di colmekinnya sama gue.”

“WAAAH-!! Mmh~! Abim jangan kenceng-kenceng, sayang!.” Pupil nathan bergilir kebelakang, ia masih berusaha menutup selangkangannya, ia benar-benar di buat gila oleh jari Abim.

“Gue pastiin, Om Hendra gabakal bisa ngalahin kocokan jari gue.”

Abim menggosok klitoris Nathan berantakan, ia ingin memancing Nathan untuk pipis di depannya, tangan Nathan berusaha menghentikan kocokan Abim namun dengan cepat tangannya di hempas kasar.

“Abim mau pipis!—AaaH-! Mmh.”

Abim tersenyum getir, ia semakin menaikan tempo kocokannya buat Nathan gila, Nathan mendesah panjang ia mengeluarkan pipisnya, cairan tersebut membuat vaginanya makin becek.

“Bangsat, lo bikin jaket gue basah anjing.” Abim menampar vagina Nathan berulang kali buat Nathan tersentak-sentak.

“U-Udah—kocokan kamu enak banget.” Ujar Nathan sambil tersenyum, mata sayunya menatap Abim. Abim tertawa lalu ia mulai menaruh selimut yang sudah setengah basah tersebut ke keranjang pakaian.

“Gue ambil selimut baru, lo gausah ngebantuin gue. Gue selesain sendiri aja di kamar mandi lo.”

Nathan mengangguk pelan lalu matanya menutup, ia memilih kembali ke alam mimpinya mungkin efek di colmekin Abim bikin dia jadi ngantuk lagi.

@mangoreyy

Hari ini, hari pertama Utun masuk TK. Seragamnya udah lengkap, pake topi, bawa tas spiderman terus sepatunya gambar iron man.

“Utun nanti jangan nyusahin guru ya, momma bakal jemput Utun nanti siang. Semangat belajarnya anak momma!” Jay berikan kecupan hangat di pipi Utun, buat Utun tersenyum lalu mengangguk paham.

Dengan kaki kecilnya ia berlari bergabung dengan anak anak seumurannya yang sudah siap berbaris rapih di lapangan.

Utun masuk ke salah satu barisan, lalu mulai mendengarkan intruksi dari para guru walau Utun ga ngerti juga, ngerti sih tapi dikit.

Sekarang udah waktunya anak-anak buat mencari temen, anak yang lain udah pada mencar buat kenalan sedangkan Utun masih bingung harus mulai darimana.

Namun atensi Utun teralih ketika melihat bocah dengan rambut gondrong yang sibuk makan mochi sendirian sampe pipinya blepotan karena tepung dari mochi yang di makannya.

Utun tersenyum kecil lalu berlari menghampir bocah itu, Utun menaruh tasnya lalu duduk di sebelahnya, bocah itu menatap Utun heran lalu kembali dengan urusannya, memakan mochi.

“Nama kamu siapa?” Tanya Utun sembari menatap lekat bocah gondrong di sebelahnya, bocah itu menatap Utun.

“Aku? Nama aku Taki! Kalau kamu namanya siapa?” Tanya Taki balik dengan binar dan senyum lebarnya.

Utun terkekeh kecil, “nama aku Ni-ki, tapi momma sama ayah manggil aku Utun.”

“Belalti aku halus manggil kamu apa? Utun atau Ni-ki?” Ah, Utun mengerti bocah gembil di depannya yang bernama Taki itu cadel.

“Sesuka kamu! Tapi gimana kalau manggil Ni-ki? Aku jarang di panggil itu.”

Taki kembali berikan senyum hangat dan mata berbinarnya lalu mengangguk senang, tangannya beralih mengambil satu mochi dengan isian kacang merah dari tempat bekalnya lalu ia berikan ke Utun.

“Buat Ni-ki kalena udah mau jadi temen baik aku!” Ni-ki menerima mochi itu lalu ia lahap, mereka melanjutkan obrolan bocah mereka.

@mangoreyy.

“Jongseong, Mas lapar. Kamu bisa tolong siapkan makanannya?”

“A-ah iya! Aku bakal siapkan makanannya. Mas tunggu saja di kursi taman rumah ini.” Heeseung anggukan kepalanya, tatap kepergian Jongseong.

Disini Jongseong berkurat, merapihkan alat makan dan makanan yang akan ia berikan kepada suaminya lebih tepatnya lelaki yang di jodohkan dengan dirinya.

Tidak, Jongseong tidak membenci Heeseung.

Setelah selesai menyiapkan makan siang untuk Heeseung, ia bawa nampan berisi makanan siang serta air putih itu ke teras rumah keluarganya.

Namun langkahnya terhenti kala dengar gelak tawa orang lain di teras rumah, suara kekehan yang ia kenal.

Lelaki tersebut duduk di sebelah Heeseung dengan anggun, menyilangkan kakinya lalu menutup mulut saat tertawa, itu adiknya.

Adiknya yang selalu di jadikan orang-orang bahan untuk di bandingkan dengan dirinya.

“Jaeyun, kamu cantik sekali dan anggun, seperti bunga.” Puji Heeseung gapai tangan Jaeyun lalu di genggamnya tangan itu.

“Terimakasih Mas, aku senang dengar pujian untuk ku keluar dari ranum mu.”

Heeseung tersenyum sumringah, merapihkan poni Jaeyun yang menutupi mata indah Jaeyun.

“Lebih terlihat jelas, mata kamu indah Jaeyun.”

Jaeyun bersemu merah, ia keluarkan kekehan kecil yang anggun.

“Mata Mas, juga sama indahnya.”

Jongseong mencoba untuk tetap berdiam di satu tempat, mendengar percakpan menyakitkan mereka.

Jongseong eratkan pegangannya pada nampan perak yang ia bawa, menyalurkan rasa sakit dari hatinya ke nampan tersebut.

“Jaeyun, kamu cantik hari ini.” Ujar Heeseung dekatkan wajahnya dengan wajah Jaeyun.

Dan dalam sekejap kedua insan tersebut berciuman, tentu saja di depan Jongseong.

PRAK!

Genggaman Jongseong melemah, nampan berisi makanan tumpah begitu saja ke lantai.

Tentu suara jatuhnya nampan perak buat Heeseung dan Jaeyun melepas pagutan mereka, dan dengan wajah kaget melihat Jongseong yang berdiri dengan wajah datar di sebrang mereka.

Jongseong dan Heeseung bertatapan, dan Heeseung bisa tebak banyak emosi yang menyatu di tatapan yang Jongseong berikan.

Kekesalan, kesedihan, kekecewaan, kecemburuan, dan keputus asaan.

Air mata yang sedari tadi Jongseong bendung, pecah dalam seperkian detik.

Dengan tergesa-gesa Jongseong lepaskan cincin pernikahan yang terpasang manis di jarinya lalu melemparnya ke sembarang arah.

Berlari secepat mungkin, keluar dari rumah keluarganya.

Jongseong bisa dengar teriakan Heeseung, dan suara langkahan kaki yang tergesa gesa untuk mengejar Jongseong.

Jongseong selalu sadar bahwa dirinya sangat berbeda dengan Jaeyun, dari segi paras, sikap dan juga akademi. Jaeyun selalu lebih unggul, ia selalu lebih unggul di bidang apapun.

Dan Jongseong selalu harus mengalah, kini ia mengalah kembali.

Membiarkan Jaeyun jatuh cinta kepada suaminya.

Jongseong selalu sadar bahwa dirinya tidak pantas di samping Heeseung, Jongseong sadar bahwa Heeseung lebih terlihat bahagia ketika berbicara dengan Jaeyun, Heeseung selalu berikan senyum terbaiknya untuk Jaeyun.

He is the other woman.

Jongseong adalah perusak hubungan mereka.

“Jongseong, Mas lapar. Kamu bisa tolong siapkan makanannya?”

“A-ah iya! Aku bakal siapkan makanannya. Mas tunggu saja di kursi taman rumah ini.” Heeseung anggukan kepalanya, tatap kepergian Jongseong.

Disini Jongseong berkurat, merapihkan alat makan dan makanan yang akan ia berikan kepada suaminya lebih tepatnya lelaki yang di jodohkan dengan dirinya.

Tidak, Jongseong tidak membenci Heeseung.

Setelah selesai menyiapkan makan siang untuk Heeseung, ia bawa nampan berisi makanan siang serta air putih itu ke teras rumah keluarganya.

Namun langkahnya terhenti kala dengar gelak tawa orang lain di teras rumah, suara kekehan yang ia kenal.

Lelaki tersebut duduk di sebelah Heeseung dengan anggun, menyilangkan kakinya lalu menutup mulut saat tertawa, itu adiknya.

Adiknya yang selalu di jadikan orang-orang bahan untuk di bandingkan dengan dirinya.

“Jaeyun, kamu cantik sekali dan anggun, seperti bunga.” Puji Heeseung gapai tangan Jaeyun lalu di genggamnya tangan itu.

“Terimakasih Mas, aku senang dengar pujian untuk ku keluar dari ranum mu.”

Heeseung tersenyum sumringah, merapihkan poni Jaeyun yang menutupi mata indah Jaeyun.

“Lebih terlihat jelas, mata kamu indah Jaeyun.”

Jaeyun bersemu merah, ia keluarkan kekehan kecil yang anggun.

“Mata Mas, juga sama indahnya.”

Jongseong mencoba untuk tetap berdiam di satu tempat, mendengar percakpan menyakitkan mereka.

Jongseong eratkan pegangannya pada nampan perak yang ia bawa, menyalurkan rasa sakit dari hatinya ke nampan tersebut.

“Jaeyun, kamu cantik hari ini.” Ujar Heeseung dekatkan wajahnya dengan wajah Jaeyun.

Dan dalam sekejap kedua insan tersebut berciuman, tentu saja di depan Jongseong.

PRAK!

Genggaman Jongseong melemah, nampan berisi makanan tumpah begitu saja ke lantai.

Tentu suara jatuhnya nampan perak buat Heeseung dan Jaeyun melepas pagutan mereka, dan dengan wajah kaget melihat Jongseong yang berdiri dengan wajah datar di sebrang mereka.

Jongseong dan Heeseung bertatapan, dan Heeseung bisa tebak banyak emosi yang menyatu di tatapan yang Jongseong berikan.

Kekesalan, kesedihan, kekecewaan, kecemburuan, dan keputus asaan.

Air mata yang sedari tadi Jongseong bendung, pecah dalam seperkian detik.

Dengan tergesa-gesa Jongseong lepaskan cincin pernikahan yang terpasang manis di jarinya lalu melemparnya ke sembarang arah.

Berlari secepat mungkin, keluar dari rumah keluarganya.

Jongseong bisa dengar teriakan Heeseung, dan suara langkahan kaki yang tergesa gesa untuk mengejar Jongseong.

Jongseong selalu sadar bahwa dirinya sangat berbeda dengan Jaeyun, dari segi paras, sikap dan juga akademi. Jaeyun selalu lebih unggul, ia selalu lebih unggul di bidang apapun.

Dan Jongseong selalu harus mengalah, kini ia mengalah kembali.

Membiarkan Jaeyun jatuh cinta kepada suaminya.

Jongseong selalu sadar bahwa dirinya tidak pantas di samping Heeseung, Jongseong sadar bahwa Heeseung lebih terlihat bahagia ketika berbicara dengan Jaeyun, Heeseung selalu berikan senyum terbaiknya untuk Jaeyun.

He is the other woman.

Jongseong adalah perusak hubungan mereka.

Kenzie buka pintu kamar mereka, ia baru saja kembali dari acara 'quality time' dengan Jaki.

Kenzie taruh kantong plastik berisi 4 ramen cup dan sekaleng soda di counter dapur, ia bisa lihat Hasra sedang asik menimang-nimang walter.

Tumben mereka berdua akur, sepertinya sudah mulai akrab.

“Hasra, ramennya aku taro sini ya?”

Hasra menoleh kearah sumber suaranya, “masakin buat gue nanti, makan malem bareng gue.”

“Tapi aku—

“Temenin gue aja.”

“Yaudah iya, aku mandi dulu.”

Setelah percakapan tidak jelas itu Kenzie berjalan kearah kamar mandi untuk membilas dirinya, lalu mengganti pakaian dengan piyama silver.

Kenzie keluar dari kamarnya dan dengan cepat, masakan ramen cup yang ia beli tadi untuk Hasra.

“dasar manja!” umpat Kenzie di lubuk hatinya yang terdalam.

“Sini duduk, udah jadi.”

Hasra menurut, ia duduk berhadapan dengan Kenzie. Mulai menyeruput ramen buatan Kenzie.

Tidak bisa di pungkiri oleh Hasra bahwa ramennya memang enak, di tambah Kenzie yang membuat makin tambah enak—eh?

Tidak ada percakapan, hanya ada suara seruputan dan kunyahan Hasra.

Tiba-tiba makhluk berbulu 'mereka' loncat menaiki meja makan yang mereka tempati.

“Eh? Walter turun.” Bukannya menuruti perintah majikannya, walter memilih untuk bergoleran di meja.

Mata walter asik menatap 2 insan yang duduk berhadapan.

“meow!” eong walter tiba-tiba buat Kenzie tolehkan kepalanya, tatap si buntalan bulu.

“Kenapa?”

“meow! Meow~” eong walter sekali lagi namun kali ini pawsnya ia pakai untuk menoel-noel Hasra.

“Kenapa walter?” Engan untuk menjawab, walter menggigit jari kiri Hasra buat si pemilik terkekeh.

Kenzie yang melihat itu juga ikut tertawa, ia gusak kepala walter, ia bisa dengar dengkuran walter karena gusakan yang ia berikan di kepalanya.

“Lucu banget sih~”

“Iya, lucu ya? Kayak kamu.”

“Loh?”

Kenzie terbangun karena suara dering alarm di nakas mejanya, jam menunjukan pukul 7 pagi, untung saja hari ini hari minggu jadi Kenzie bisa bermalas-malasan.

“Walter?”

“Walter??” Panggil Kenzie kebingungan secara ia tidak menemukan anabul besar itu di kamarnya.

Kenzie bangun dari acara berbaringnya, memasukan kakinya kedalam sendal rumahan dengan motif kucing lalu memilih pergi dari kamarnya.

Dan ia bisa lihat, Mr walter yang tampaknya tertidur pulang di pangkuan Hasra.

“Tumben.” 1 kata keluar dari ranum Kenzie, secara Kenzie tahu betul Hasra sangat membenci kucing.

“Dia yang nyamperin gue, not my fault tho.”

Kenzie menggelengkan kepalanya pelan dan memilih untuk pergi ke dapur dan membuat sarapan untuk dirinya dan juga Harsa.

Ketukan pintu kamar mereka buat Kenzie alihkan atensinya, ia bersihkan tangannya lalu berjalan kearah pintu utama kamar.

Saat membuka pintu tersebut ia bisa lihat seorang pria yang sepantaran dengannya.

“Jaki?”

Lelaki itu alihkan atensi dari handphonenya dan menatap Kenzie.

“Pagi-pagi? Ngapain?”

“Ya ngapelin lo lah wkwkw, siap-siap gih. Gue mau ngajak lo jalan.”

Kenzie bergumam dan memilih untuk mempersilahkan Jaki masuk ke dalam kamar miliknya dan juga milik Harsa.

“Gue mandi dulu, lo duduk aja.”

Jaki anggukan kepalanya dan mendudukan pantatnya di sofa putih yang terletak di pusat kamar.

Walter, come here” Ujar Jaki buat buntalan bulu milik Kenzie berlari kearahnya, dengan sigap ia peluk walter.

good boy

Hasra merasa dirinya ada pajangan, tidak di perhatikan sama sekali.

“Lo temen Kenzie?”

Jaki menoleh dan menatap Hasra, “iya, gue Jaki. Calon pacar Kenzie hahaha.”

Entah apa yang ada di pikiran Hasra namun saat lelaki berambut pirang mengatakan bahwa ia adalah 'calon pacar kenzie' buat dirinya kesal bukan main.

Tidak mungkin kan ia jatuh cinta dengan Kenzie? bocah tengil yang selalu buat dirinya sumbu pendek?

Hasra gelengkan kepalanya kecil, “salken, gue Hasra. Temen sekamarnya.”

“Ayo, jangan ke tempat rame ya? Males.”

Hasra alihkan pandangan, tatap Kenzie yang baru selesai berpakaian.

“Iya, tumben rapih banget sih.”

Kenzie memutar bola matanya malas, ia lebih memilih berjalan dari kamarnya duluan namun sebelum itu ia titip pesan pada Hasra.

Setelah menitip pesan Jaki dan Kenzie pergi keluar dari ruangan tersebut, tinggalkan Hasra dan walter sendirian.

Heeseung menghela nafasnya perlahan, ia bisa dengar tangisan di pangkuannya tidak berhenti-henti.

“Jongseong.” Suara serak Heeseung buat tubuh hybrid kucing di pangkuannya terpenjat.

“Kaka..maaf seongie udah mecahin vas kesukaan kaka.” Ujar si kucing, sesekali mengusap air mata yang mengotori pipi gembilnya.

“Gapapa sayang, its okay.” Balas Heeseung lalu berikan kecupan di pipi si manis.

“Tapi seongie merasa bersalah! Seongie nakal.” Ucap Jongseong dengan nada menyesal, Heeseung tau kucingnya kini merasa bersalah karena memecahkan vas bunga di rumahnya.

“Sayang, gapapa kaka bisa beli lagi. Yang penting kamu engga luka.” Heeseung kembali mengecup pipi tembam Jongseong sebelum menggusak rambut hitam legam tersebut.

Ia bisa lihat ekor hitam itu bergerak dengan cepat, senang karena di berikan usapan di kepala. Tidak lupa telinga kucing Jongseong menutup karena masih merasa bersalah.

let's go to the bed, it past your bedtime kitty.” Heeseung dekap tubuh berukuran sedang Jongseong dan menggendongnya seperti koala, membawa manusia setengah kucing hitam itu ke kamar mereka.

“Tidur ya? Kaka masih harus kerja, banyak email yang belum kaka balas.” Ucap pria kelahiran 2001 sebelum meninggalkan Jongseong sendiri di kamar.

Forever.

Julian memutar knop pintunya, menyapa matahari yang baru saja terbit.

Ia mengambil tempat untuk menyiram tanaman lalu mengisinya dengan air, setelah itu Julian mulai menyirami tanaman-tanaman yang mengelilingi rumah sederhananya.

Tepat pada saat itu juga, Galih, tetangganya keluar dari rumah.

“Juli, selamat pagi!” Sapa Galih kepada Julian yang sibuk menyirami tanaman.

“Selamat pagi juga, Mas Galih!!” Balas Julian dengan senyumannya yang cerah membuat siapapun akan jatuh hati padanya termasuk Galih.

“Sepertinya mas mau pingsan Juli.”

Julian menatap Galih dengan tatapan bingungnya, ia menaruh siramannya lalu mendekat kearah Galih.

“Mas kenapa?”

“Lemes, ngelihat kamu senyum bikin mas lemes.”

Julian terkekeh kecil, “mas Galih ada-ada saja, jangan lebay dong.”

“Tapi serius senyuman kamu, senyuman yang paling indah yang pernah Mas lihat.”

Julian merona, pipinya berubah menjadi kemerahan karena Galih baru saja memuji senyumannya.

Galih tersenyum tipis, ia selalu suka saat pipi berisi milik Julian di hiasi oleh rona kemerahan.

“Adek Juli ada agenda apa hari ini?”

“Kayanya cuman mau ke toko buku aja!”

“Mau mas anter?”

Julian terdian sejenak, “mas engga sibuk kah?”

Pertanyaan Julian hanya di jawah dengan gelengan oleh Galih, Julian mengangguk setuju untuk pergi ke toko buku bersama tetangganya itu.


“Mas Galih lihat! Buku ini cantik bukan?” Ujar Julian sembari menunjukan buku bersampul cokelat dengan gambar snowman yang di gambar menggunakan pensil sepertinya.

“Cantik, tapi menurut Mas lebih cantik yang lagi megang buku ketimbang bukunya.”

Julian terkekeh kecil setelah mendengar kata-kata manis yang keluar dari ranum seorang Galih.

“Juli mau lihat buku yang Mas Galih pilih.”

Tanpa merasa keberatan Galih memperlihatkan buku yang terlihat kuno namun lucu di saat bersamaan.

“LUCU BANGET!! Mas Galih pinter milih buku.” Puji Julian buat Galih tersenyum tipis.

Kini keduanya sedang mengantri untuk membeli buku yang baru saja mereka pilih tadi.

Tiba-tiba atensi Julian teralihkan kala melihat mainan bebek yang terbuat dari kayu, ia menoleh kearah Galih yang sibuk dengan gadgetnya.

“Mas Galih, bebeknya lucu..”

Galih menatap ke arah yang di tunjuk oleh Juli, tanpa berbicara apapun Galih mengambil 2 bebek yang terbuat dari kayu tersebut, yang satu memakai topi sedangkan yang satu lagi memakai mahkota bunga.

“Ini satu buat Mas, dan satu lagi buat kamu.”

Julian tersenyum manis sampai matanya menyipit, membuat Galih lemas sendiri melihat kemanisan yang ada di depannya.

“Terimakasih Mas Galih!” Ujar Julian girang karena Galih mau membelikan mainan bebek kayu tersebut.

“Sehabis ini, kita kemana lagi mas?”

“Kamu lapar? Mas lapar, gimana kalau kita makan saja?” Tanya Galih yang di jawab oleh anggukan kecil dari Julian.


Julian dan Galih kini duduk berhadapan di dalam restoran yang mereka datangi.

Julian sibuk memakan pesanannya sedangkan Galih hanya menatap Julian dengan senyum yang perlahan terbit di wajahnya.

“Mas Galih itu makanannya di makan, nanti ga enak kalau sudah dingin.” Galih tidak berkutik sama sekali, ia masih setia memandang wajah indah kepunyaan Julian.

Julian menghela nafasnya pelan, menyendok nasi goreng pesanan Galih lalu mengangkat sendok itu dan mengarahkannya ke ranum Galih.

“Makan, Mas.”

Galih yang baru sadar dari lamunannya membuka mulutnya agar Julian bisa bebas menyuapi dirinya.

“Nah gitu, selanjutnya Mas habisin sendiri makanannya.”

“Suapin Mas terus dong Juli, nanti Mas juga suapin Juli.” Tawar Galih yang di balas kekehan geli dari Julian.

“Mas kayak masih umur 5 tahun saja, makannya harus di suapi, yaudah sini aku suapin.” Ucap Julian lembut lalu mengambil sendok dan menyendok makanan yang di pesan Galih.

“Buka mulut kamu mas.”

Galih menurut, ia buka mulutnya menerima makanan yang di berikan oleh Julian.


“Terimakasih untuk hari ini ya mas, aku seneng bisa jalan sama mas Galih, lain kali kerumah ya mas!”

Galih tersenyum kecil, “iya nanti mas akan mampur kalau sempat, selamat istirahat adek lian.”

“Lian? Nama panggilannya lucu hihi.” Balas Julian di akhir kekehan kecil buat Galih kembali tersenyum karena tingkahnya.

“Hm, mas Galih bikin khusus adek lian panggilannya, yasudah sana masuk. Sudah jam 8 pasti ibu nyari kamu.”

Julian mengangguk, sebelum itu ia mendekat kearah Galih memberikan kecupan singkat di pipi Galih dan berbaik badan untuk membuka pintu rumahnya.

Galih yang di perlakukan seperti itu, tentu merona.

“Terimakasih sekali lagi mas, ciuman tadi aku berikan sebagai hadiah.” Ujar Julian sebelum masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Galih yang masih memproses keadaan yang terjadi di depan rumah Julian.

—Fin